Darah Wanita 2
ISTIHADLAH
Definisi Istihadlah
Di kalangan wanita ada yang
mengeluarkan darah dari farji’ (vagina)-nya di luar kebiasaan bulanan dan bukan
karena sebab kelahiran. Darah ini diistilahkan sebagai darah istihadlah. Al
Imam An Nawawi rahimahullaah dalam penjelasaannya terhadap Shahih
Muslim mengatakan: “Istihadlah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita
bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.” (Shahih Muslim bi Syarhin
Nawawi 4/17, Fathul Bari 1/511)
Al Imam Al Qurthubi rahimahullaah
mensifatkannya dengan darah segar yang di luar kebiasaan seorang wanita
disebabkan urat yang terputus [1](Jami’
li Ahkamil Qur’an 3/57).
Syaikh Al Utsaimin rahimahullaah memberikan
definisi istihadlah dengan darah yang terus menerus keluar dari seorang wanita
dan tidak terputus selamanya atau terputus sehari dua hari dalam sebulan.
·
Dalil keadaan yang pertama (darahnya tidak
terputus selama-lamanya) dibawakan Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya dari
hadits ‘Aisyah radhiallaahu ‘anha, ia berkata: “Fathimah bintu Abi
Hubaisy berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah suci…’ “ (HR. Bukhari no. 306,
328, dan Muslim 4/16-17) Dalam riwayat lain: ‘Aku istihadlah tidak pernah
suci… .’
·
Adapun dalil keadaan kedua adalah hadits Hamnah
bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha ketika dia datang kepada Rasulullah Shallallaahu
‘Alaihi Wa
Sallam dan mengadukan keadaan dirinya: “Aku pernah ditimpa istihadlah
(darah yang keluar) sangat banyak dan deras…” (HR. Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi dan dishahihkannya. Dinukilkan dari Al Imam Ahmad akan penshahihan
beliau terhadap hadits ini dan dari Al Imam Al Bukhari penghasanannya). (Terj. Risalah
fid Dima’, hal. 40)
Antara Darah Haid dan Darah Istihadlah
Ketika Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wa
Sallam diadukan oleh Hamnah radhiallaahu ‘anha tentang istihadlah
yang menimpanya, beliau berkata, “Yang demikian hanyalah satu
gangguan/dorongan dari setan.”
Atau dalam riwayat Shahihain dari hadits
Fathimah bintu Abi Hubaisy, beliau mengatakan tentang istihadlah, “Yang
demikian itu hanyalah darah dari urat, bukan haid.”
·
Darah istihadlah tidak sama dengan haid yang
sifatnya alami, yang pasti dialami oleh setiap wanita normal sebagai salah satu
tanda baligh.
·
Darah istihadlah adalah satu penyakit yang
menimpa kaum hawa dari perbuatan setan
yang ingin menimbulkan keraguan pada anak Adam dalam pelaksanaan ibadahnya.
Kata Al Imam As Shan’ani
“Makna sabda Nabi: (’Yang demikian hanyalah satu dorongan/gangguan dari
syaithan’) adalah setan mendapatkan jalan untuk membuat kerancuan terhadapnya
dalam perkara agamanya, masa sucinya dan shalatnya hingga setan menjadikannya
lupa terhadap kebiasaan haidnya.
·
Darah istihadlah dari urat yang dinamakan ‘aadzil
karena dimungkinkan syaithan mendorong urat tersebut hingga terpancar darah
darinya.”[2] [3](Subulus
Salam 1/159)
Ada
perbedaan lain dari sifat darah haid bila dibandingkan dengan darah istihadlah:
- Perbedaan warna. Darah haid umumnya hitam sedangkan darah istihadlah umumnya merah segar.
- Kelunakan dan kerasnya. Darah haid sifatnya keras sedangkan istihadlah lunak.
- Kekentalannya. Darah haid kental sedangkan darah istihadlah sebaliknya.
- Aromanya. Darah haid beraroma tidak sedap/busuk.
Cara
membedakan darah haid dan istihadah
Keberadaan
darah istihadlah bersama darah haid merupakan suatu masalah yang rumit.
Sehingga menurut Ibnu Taimiyyah, keduanya harus dibedakan. Caranya bisa dengan ‘adat
(kebiasaan haid) atau dengan tamyiz (membedakan sifat darah).
Keadaan Wanita yang Istihadlah
Pertama: Dia
memiliki kebiasaan haid yang tertentu sebelum ia ditimpa istihadlah. Hingga
tatkala keluar darah dari kemaluannya untuk membedakan apakah darah tersebut
darah haid atau darah istihadlah, ia kembali kepada kebiasaan haidnya yang
tertentu. Dia meninggalkan shalat dan puasa di hari-hari kebiasaan haidnya dan
berlaku padanya hukum-hukum wanita haid, adapun di luar kebiasaan haidnya bila
keluar darah maka darah tersebut adalah darah istihadlah dan berlaku padanya
hukum-hukum wanita yang suci.
Misalnya:
Seorang wanita haidnya datang selama enam hari di tiap awal bulan. Kemudian dia
ditimpa istihadlah dimana darahnya keluar terus-menerus. Maka cara dia
menetapkan apakah haid dan istihadlah adalah enam hari yang awal di tiap
bulannya adalah darah haid sedangkan selebihnya adalah darah istihadlah. Hal
ini berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang mengabarkan kedatangan
Fathimah bintu Abi Hubaisy guna mengadu kepada Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya aku tidak suci
maka apakah aku harus meninggalkan shalat?” Nabi menjawab : “(Tidak,
engkau tetap mengerjakan shalat). Itu hanyalah darah karena terputusnya urat.
Apabila datang saat haidmu tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu
hari-hari yang kau biasa haid, kemudian mandilah dan shalatlah.” (HR.
Bukhari)
Dalam
Shahih Muslim disebutkan bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
berkata kepada Ummu Habibah bintu Jahsyin, “Diamlah engkau (tinggalkan
shalat) sekadar hari-hari haidmu kemudian mandilah dan setelah itu shalatlah.”
(HR. Muslim 4/25-26)
Dengan demikian, wanita yang keadaannya seperti
ini dia meninggalkan shalat di hari-hari kebiasaan haidnya kemudian dia mandi,
setelah itu ia boleh mengerjakan shalat dan tidak perlu mempedulikan darah yang
keluar setelah itu karena darah tersebut adalah darah istihadlah dan dia
hukumnya sama dengan wanita yang suci.
Keadaan kedua:
Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid yang tertentu (mubtada’ah)
sebelum ia ditimpa istihadlah namun ia bisa membedakan darah (mumayyizah).
Maka untuk membedakan sifat darah haid dan darah istihadlah menggunakan cara tamyiz
(pembedaan sifat darah). Darah haid dikenal dengan warnanya yang hitam, kental
dan beraroma tidak sedap. Bila dia dapatkan demikian, maka berlaku padanya
hukum-hukum haid sedangkan di luar dari itu berarti dia istihadlah.
Misalnya:
seorang wanita melihat darah keluar dari kemaluannya terus-menerus, akan tetapi
sepuluh hari yang awal dia melihat darahnya hitam sedangkan selebihnya berwarna
merah, atau sepuluh hari awal berbau darah haid selebihnya tidak berbau, berarti
sepuluh hari yang awal itu dia haid, selebihnya istihadlah, berdasarkan ucapan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Apabila
darah itu darah haid maka dia berwarna hitam yang dikenal. Apabila demikian
berhentilah dari shalat. Namun bila bukan demikian keadaannya berwudlulah dan
shalatlah karena itu adalah darah penyakit.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, dan
lain-lain. Dishahihkan oleh As Syaikh Al Albani rahimahullaah)
Bila
seorang wanita yang istihadlah punya ‘adat haid dan bisa membedakan sifat darah
(tamyiz), manakah yang harus dia dahulukan, ‘adat atau tamyiz?
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu. Ada yang
berpendapat tamyiz yang didahulukan sebagaimana pendapatnya Imam
Malik, Ahmad, dan Syafi’i. Mereka berdalil dengan hadits Fathimah bintu Abu
Hubaisy di atas. Ada pula yang berpendapat ‘adat didahulukan
sebagaimana pendapatnya Abu Hanifah dan pendapat ini yang dikuatkan Ibnu
Taimiyyah dan juga Syaikh Ibnu Utsaimin. Dengan demikian bila ada seorang
wanita memiliki ‘adat (kebiasaan haid) 5 hari, pada hari keempat dari ‘adat-nya
keluar darah berwarna merah (sebagaimana darah istihadlah) namun pada hari
kelima darah yang keluar kembali berwarna hitam maka ia berpegang dengan ‘adat-nya
yang lima hari, sehingga hari keempat (yang keluar darinya darah berwarna
merah) tetap terhitung dalam hari haidnya. Pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu
A’lam.
Keadaan ketiga:
Wanita itu tidak memiliki kebiasaan haid dan tidak pula dapat membedakan
darahnya. Darah keluar terus-menerus sejak awal dia melihat darah keluar dari
kemaluannya dan sifatnya sama atau tidak jelas perbedaannya. Maka untuk
membedakan haid dan istihadlahnya adalah melihat kebiasaan kebanyakan wanita
yaitu dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari pada setiap
bulannya dan dimulai sejak awal dia melihat keluarnya darah. Selebihnya berarti
istihadlah.
Misalnya:
seorang wanita melihat darah pertama kalinya pada hari Kamis bulan Ramadhan dan
darah itu terus keluar tanpa dapat dibedakan apakah haid ataukah selainnya maka
dia menganggap dirinya haid selama enam atau tujuh hari, dimulai dari hari
Kamis.
Hal
ini berdasarkan hadits Hamnah bintu Jahsyin radhiallaahu ‘anha dimana
beliau mengalami istihadlah yang banyak dan deras, maka beliau meminta fatwa
pada Nabi Shallallaahu’alaihi wa sallam. Beliau Shallallaahu’alaihi
wa sallam bersabda, ‘Yang demikian itu hanyalah satu gangguan dari
syaithan maka berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari, kemudian setelah
lewat dari itu mandilah, hingga engkau lihat dirimu telah suci maka shalatlah
selama 24 atau 23 siang malam, puasalah dan shalatlah. Maka hal tersebut
mencukupimu. Demikianlah, lakukan hal ini setiap bulannya sebagaimana para
wanita berhaid.’” (Hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi. Menurut
Ahmad dan Tirmidzi hadits shohih, sedang menurut Imam Bukhoriy, hadits hasan)
Kata
Al Imam As Shan’ani: “Dalam hadits ini (untuk menentukan haid dengan yang
selainnya) Nabi mengembalikan kepada kebiasaan umumnya para wanita.” [4](Subulus
Salam 1/159)
Wanita yang memiliki keadaan seperti ini, ia
menganggap dirinya suci selama 24 hari bila kebiasaan haidnya enam hari atau ia
menganggap dirinya suci selama 23 hari bila kebiasaan haidnya tujuh hari. Untuk
menentukan enam atau tujuh hari bukan dengan seenaknya memilih namun dengan
melihat kepada wanita lain yang paling dekat kekerabatannya dan berdekatan umur
dengannya. Al Imam As Shan’ani mengatakan : “Ucapan Nabi dalam hadits:
((Berhaidlah engkau selama enam atau tujuh hari)) ini bukanlah syak
(keraguan) dari rawi (yakni rawi ragu apakah Nabi mengatakan enam atau tujuh)
dan bukan pula takhyir (disuruh memilih antara enam atau tujuh,
-pent). Nabi mengatakan demikian untuk mengumumkan bahwasannya para wanita
memiliki salah satu dari dua ‘adat (enam atau tujuh). Di antara mereka
ada yang berhaid enam hari dan ada yang tujuh hari. Maka seorang wanita (yang
meiliki kebiasaan seperti itu) mengembalikan kebiasaannya kepada wanita yang
sama usia dengannya dan memiliki keserupaan (rahim) dengannya.” [5](Subulus
Salam hal.1/ 160)
Para ahli fikih berkata: “Apabila wanita yang
istihadlah memiliki ‘adat (kebiasaan) yang tetap dan pasti, maka ia
berhenti shalat dan puasa pada hari-hari ‘adat-nya tersebut (bila ia
melihat darah) karena ‘adat lebih kuat dari selainnya. Apabila ia
tidak mengetahui ‘adat-nya maka ia melakukan tamyiz
(membedakan darah). Apabila ia tidak mampu membedakan darah maka ia melihat
kebiasaan umumnya wanita.”[6] (Bulughul
Maram dengan catatan kaki yang berisi pembahasan As Syaikh Al Albani.
Penjelasan Abdullah Al Bassam dan beberapa ulama Salaf, halaman 54) . Apabila
kebiasaan wanita yang seumur dan paling dekat kekerabatan dengannya itu bukan
enam atau tujuh hari (misalnya sepuluh hari), maka dia tetap harus berpedoman
dengan kebiasaan wanita tersebut yaitu sepuluh hari. Allahu Ta’ala A’lam.
Kondisi keempat dan kelima: Jika
wanita tersebut memliki kebiasaan haid tertentu, namun haidnya tidak teratur
bilangannya (muktaribah), maka jika masih memungkinkan melakukan tamyiz,
maka kondisinya disesuaikan dengan wanita dengan kondisi kedua di atas.
Kondisi keenam: Wanita yang
memiliki kebiasaan, namun lupa waktu dan bilangan hari haidnya dan tidak dapat
membedakannya sementara darah terus-menerus keluar, maka ulama berselisih
pendapat mengenai masalah ini. Ada
yang berkata hukumnya sama dengan wanita baru haid yang tidak dapat membedakan
darahnya (mubtada-ah). Ada
yang berkata: Untuk kehati-hatian dia anggap dirinya haid hingga tidak halal
bagi suaminya untuk menggaulinya dan di sisi lain dia anggap dirinya suci hingga
ia terus shalat dan puasa. Ada
yang mengatakan dia menetapkan hari-hari haidnya setiap awal bulan dan jumlah
harinya sama dengan wanita di sekitarnya. Yang lain mengatakan dia harus
berusaha sungguh-sungguh untuk membedakan darahnya semampu dia dan berusaha
mengingat keadaan haidnya. [7](Majmu’
Syarhil Muhadzdzab 2/396). Yang rojih, menurut Syaikh Utsaimin dalam Syarhul
Mumti’, adalah mengembalikannya pada kebiasaan wanita yang lain namun
dalam hal ini lebih dipersempit. Misalnya wanita itu hanya ingat bahwa ia haid
di awal bulan, namun lupa tanggal berapa. Kemudian keluar darah terus menerus.
Ibu wanita tersebut memiliki haid yang teratur setiap awal bulan pada tanggal
tertentu, demikian pula dengan saudara wanitanya hanya saja di akhir bulan.
Maka wanita tersebut harus menetapkan tanggal haidnya sesuai tanggal haid
ibunya, meski kekerabatan rahim dan umurnya lebih mendekati saudara wanitanya.
Kondisi ketujuh: Jika ia tahu
bilangan/durasi haidnya dan letaknya (awal, tengah atau akhir), namun ia lupa
tepatnya tanggal berapa ia haid, maka ada perbedaan pendapat di antara ulama.
Sebagian mengatakan bahwa dia harus mengambil tanggal haidnya di awal bulan
(meski ia yakin biasa haid di tengah bulan). Akan tetapi, menurut Syaikh
‘Utsaimin dalam (Syarhul Mumti’ ) yang lebih mendekati pada kenyataan
sebenarnya adalah mengambil tanggal pasti dari awal, tengah, atau akhir bulan.
Misal wanita tersebut yakin ia haid di tengah bulan namun lupa tanggal berapa.
Maka yang lebih mendekati kebenaran adalah ia menetapkan tanggal haidnya adalah
tanggal 13, daripada menetapkan tanggal haidnya di awal bulan.
Hukum-Hukum Istihadlah
Hukum wanita yang istihadlah sama seperti hukum
wanita yang suci kecuali pada hal berikut ini :
·
Wanita istihadlah bila ingin wudlu maka ia
mencuci bekas darah dari kemaluannya dan menahan darahnya dengan kain
(pembalut) berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam kepada Hamnah radhiyallaahu’anha: “Aku beritahukan
kepadamu (untuk menggunakan) kapas karena dia mampu menyerap darah’. Hamnah
radhiyallaahu’anha berkata, ‘Darahnya lebih banyak dari itu. Beliau Shallallahu
‘Alaihi Wa
Sallam bersabda,’Gunakan kain’. Hamnah berkata,’darahnya lebih banyak dari
itu’. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda, ‘Gunakan
penahan’.”
·
Dalam hal senggama dengan istri yang sedang
istihadlah, ulama telah berselisih tentang kebolehannya, namun tidak dinukilkan
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam adanya larangan,
padahal banyak wanita yang ditimpa istihadlah pada masa beliau. Dan juga Allah
Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka jauhilah (jangan menyetubuhi) para
istri ketika mereka sedang haid.” (Al Baqarah: 222). Dalam ayat ini, Allah
Ta’ala hanya menyebutkan haid, yang berarti selain haid tidak diperintahkan
untuk menjauhi istri. (Risalah fid Dimaa’ hal. 50)
Apakah Wajib Mandi Setiap Akan Shalat?
‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengatakan bahwa Ummu
Habibah istihadlah selama 7 tahun dan ia menanyakan perkaranya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam. Maka beliau
memerintahkan kepada Ummu Habibah untuk mandi dan beliau mengatakan: “Darah
itu dari urat. Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” (HR. Bukhari
dalam Shahih-nya nomor 317 dan Muslim halaman 23)
Al Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dari jalan
Al Laits bin Sa’ad dari Ibnu Syihab dari Urwah dari Aisyah. Dan pada akhir
hadits, Al Laits berkata: “Ibnu Syihab tidak menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan Ummu Habibah bintu Jahsyin radhiallahu
‘anha untuk mandi setiap akan shalat, akan tetapi hal itu dilakukan atas
kehendak Ummu Habibah sendiri. Dengan demikian Al Laits berpendapat mandi
setiap akan shalat bagi wanita istihadlah bukanlah dari perintah Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa
Sallam. Dan apa yang dipandang oleh Al Laits ini juga merupakan pendapat
jumhur ulama sebagaimana dinukil dari mereka oleh Al Imam An Nawawi dalam [8](Syarhu
Muslim (4/19) dan Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/533). Al Imam An Nawawi berkata:
“Ketahuilah tidak wajib bagi wanita istihadlah untuk mandi ketika akan
mengerjakan shalat, tidak pula wajib mandi dari satu waktu yang ada kecuali
sekali saja setiap berhentinya haid. Dengan ini berpendapat Jumhur Ulama dari kalangan Salaf dan Khalaf.”
(4/19-20)
Adapun
hadits yang ada tambahan lafadz: “Nabi memerintahkannya (Ummu Habibah)
untuk mandi setiap akan shalat.” Adalah tambahan yang syadz karena Ibnu
Ishaq -seorang perawi hadits ini- salah dalam membawakan riwayat sementara para
perawi lainnya yang lebih kuat, meriwayatkan hadits ini dari Ibnu Syihab dengan
lafadh: “Adalah Ummu Habibah mandi setiap akan shalat.” Dan perbedaan
antara kedua lafadh ini jelas sekali. Bahkan Laits bin Sa’ad dan Sufyan Ibnu
‘Uyainah -dua dari perawi yang kuat- jelas-jelas mengatakan dalam riwayat Abu
Daud bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memerintah Ummu
Habibah untuk mandi.[9] (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/220-221)
As
Syaikh Shiddiq berkata dalam Syarah Ar Raudlah: “Tidak datang dalam satu hadits
pun (yang shahih) adanya kewajiban mandi untuk setiap shalat (bagi wanita
istihadlah), tidak pula mandi setiap dua kali shalat dan tidak pula setiap
hari. Tapi yang shahih adalah kewajiban mandi ketika selesai dari waktu haid
yang biasanya (menurut ‘adat) atau selesainya waktu haid dengan tamyiz
sebagaimana datang dalam hadits Aisyah dalam Shahihain dan selainnya dengan
lafadz: “Maka apabila datang haidmu, tinggalkanlah shalat dan bila berlalu
cucilah darah darimu dan shalatlah.” Adapun dalam Shahih Muslim disebutkan
Ummu Habibah mandi setiap akan shalat maka ini bukanlah dalil karena hal itu
dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam, bahkan yang ada, Nabi mengatakan kepadanya: “Diamlah
engkau (tinggalkan shalat) sekadar hari haidmu kemudian (bila telah suci)
mandilah.” [10](Bulughul
Maram halaman 53 dengan catatan kaki pembahasan As Syaikh Al Albani dan
lain-lain)
Ibnu Taimiyyah berpendapat sebagaimana dinukil
dalam kitab[11] (Bulughul
Maram halaman 53 dengan catatan kaki) bahwasannya mandi setiap shalat ini hanyalah sunnah,
tidak wajib menurut pendapat imam yang empat, bahkan yang wajib bagi wanita
istihadlah adalah wudlu setiap shalat lima
waktu menurut pendapat jumhur, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad.
Apakah Wajib Wudlu Setiap Akan Shalat?
Al Imam Al Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya
sampai kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasannya Fathimah bintu Abi
Hubaisy datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan mengadukan istihadlah yang menimpanya dan ia bertanya: “‘Apakah
aku harus meninggalkan shalat?’ Maka Nabi mengatakan, ‘Tidak itu hanyalah urat bukan
haid, maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan jika berlalu maka
cucilah darah haidmu kemudian shalatlah.’ “ (HR. Bukhari: 228)
Hadits di atas dalam riwayat Nasa’i dari jalan
Hammad bin Zaid ada tambahan lafadz: “Berwudlulah” setelah lafadz: “Cucilah
darah haidmu”. Sehingga dalam riwayat Nasa’i, lafadz hadits di atas adalah:
“Cucilah darah haidmu, wudlulah, dan shalatlah.” (HR. Nasa’i 1/185)
Al Imam Muslim ketika meriwayatkan hadits ini
dalam Shahih-nya (4/21) tanpa tambahan di atas sebagaimana Al Imam Al
Bukhari membawakan tanpa tambahan. Al Imam Muslim memberikan isyarat lemahnya
tambahan tersebut dengan ucapannya: “Dalam hadits Hammad bin Zaid ada tambahan
yang kami tinggalkan penyebutannya.”
Kata Al Imam An Nawawi rahimahullah dalam Syarah
Muslim mengutip ucapan Qadli ‘Iyyadl: “Tambahan yang ditinggalkan penyebutannya
oleh Al Imam Muslim adalah: ((“watawadl-dla’i/ berwudlulah”)). An
Nasa’i dan lainnya menyebutkan tambahan ini, sedangkan Imam Muslim membuangnya
karena Hammad, salah seorang perawi hadits ini, bersendiri dalam menyebutkan
tambahan tersebut (adapun perawi-perawi lain tidak menyebut tambahan:
‘Berwudlulah’ pent.). An Nasa’i sendiri mengatakan: “Kami tidak mengetahui
adanya seorang pun selain Hammad yang mengatakan/menyebutkan: ‘Berwudlulah’ ” [12](Syarah
Muslim 4/22)
Demikian pula Imam Tirmidzi, Darimi, Ahmad, dan
Nasa’i sendiri dari jalan Khalid Ibnul Harits dan Malik meriwayatkan tanpa
tambahan di atas.[13]
(Lihat Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/224- 226).
Kesimpulannya: Perintah wudlu bukanlah datang
dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi
Wa Sallam dan perintah yang
datang dalam masalah ini adalah lemah sebagaimana dilemahkan oleh para ulama.
Namun jangan sampai dipahami bahwa yang wajib adalah mandi setiap shalat.
Maroji’:
- Darah yang Menimpa Wanita, [MUSLIMAH Rubrik Kajian Kita Edisi 37/1421 H/2001 M], Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyyah.
- Istihadlah, [MUSLIMAH Edisi 41/1423 H/2002 M Rubrik Kajian Kita ]., Ummu Ishaq Zulfa Husein Al Atsariyah.
- Risalah fi Ad Dima’ Ath Thabi’iyyah lin Nisa’ (Terj. Darah Kebiasaan Wanita), Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
- Darah Kebiasaan Wanita, rekaman dauroh, al Ustadz Ibnu Yunus.
- Artikel www.muslimah.or.id
0 Response to "Darah Wanita 2"
Posting Komentar