Darah Wanita 1
DARAH HAID DAN NIFAS
Defenisi Haid dan Nifas
Menurut bahasa, haid berarti
sesuatu yang mengalir.[1]
istilah ialah darah yang
terjadi pada wanita secara alami, bukan karena sesuatu sebab, dan pada waktu
tertentu.[2]
Perkataan Para Ulama :
Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm
Al-Andalusi sebagai berikut: “Yang dikatakan haid
itu ialah darah berwarna kehitam-hitaman yang kental yang baunya tidak sedap
dan dengan aroma tertentu. Maka kapan saja darah yang demikian ini keluar dari
kemaluan wanita, maka tidak halal baginya untuk shalat dan….”
Al-Imam Muwaffaquddin Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin
Qudamah menambahkan: “Haid itu adalah darah yang mengalir dari rahim wanita
bila ia telah mencapai usia baligh, kemudian terus menerus darah itu keluar
pada waktu-waktu tertentu.”
Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqa“Haid itu adalah darah yang mengalir dari rahim wanita
bila ia telah mencapai usia baligh, kemudian terus menerus darah itu keluar
pada waktu-waktu tertentu.”
Al-Imam Al-Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al-
lani
menerangkan: “Menurut kebiasaan yang dinamakan haid itu ialah mengalirnya darah
wanita dari tempat yang khusus dalam waktu yang tertentu.”
Maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Haid / nifas itu ialah
keluarnya darah dari kemaluan wanita sejak ia baligh. Darah tersebut secara
rutin keluar dari padanya setiap bulan sekali dalam beberapa hari sesuai dengan
kebiasaan masing-masing.
Al-Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi berkata
: bahwa haid darah yang ditumpahkan oleh rahim dengan sifat tertentu.dan beliau
menyabutkan beberapa nama lain haid .
·
Dinamakan al-haidlu dan ini
adalah nama yang populer. Dan dinamakan demikian karena mengalirnya darah itu
dari rahim wanita.Karena haid itu secara bahasa artinya adalah mengalir.
·
Dinamakan juga dengan
at-thumtsu, Al-Farra’ menyatakan: At-thumtsu itu maknanya ialah “darah yang
mengalir”.Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta`ala dalam
firman-Nya di (Ar-Rahman 56) yang memberitakan tentang para bidadari: Mereka
tidak pernah diperawani oleh siapapun dari manusia dan jin.
·
Dinamakan juga dengan
al-ariku, karena adanya hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihiwasallam yang
berbunyi: “Apabila
wanita telah Arikat (yakni berhaid), maka tidak halal untuk dilihat sedikitpun
dari tubuhnya kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya.”(HR.Ahmad)
·
Dinamakan juga dengan
adl-dlahiku, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta`ala dalam ( Hud ayat ke
71) “Dan istrinya berdiri mendengar berita gembira itu,maka iapun dlahikat.”
Al-Imam Mujahid rahimahullah menjelaskan: “Kata dlahikat di ayat
ini maknanya ialah berhaid.”
·
Dinamakan juga
al-ikbar, sebagaimana firman Allah dalam ( Yusuf 31)“Maka ketika para wanita
itu melihat Yusuf, mereka pun akbarnahu.
”Ibnu Abbas berkata: “Maknanya ialah bahwa para wanita itu
menjadi haid ketika melihatnya.”
·
Dinamakan juga
al-i’shar, sehingga hujan lebat itu dinamakan al-i’shar karena keluarnya air
dari awan itu seperti keluarnya darah dari rahim dengan deras.
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnu Al-Arabi Al-Maliki
menambahkan dua nama di samping keenam nama tersebut sebagai berikut ini:
·
Al-Farku.
·
At-Thumsu.
Sebab dan perbedaan darah haid, istihadah dan
nifas
Pembatasan pada pengertian
terakhir ini sangat diperlukan, untuk dapat membedakan antara darah haid,
istihadhah dan nifas.
·
Di alami ketiganya secara lazim oleh kaum
wanita.
·
Darah haid bersifat normal, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau pun kelahiran.
·
Darah haid berasal dari penebalan dinding rahim
untuk mempersiapkan proses pembentukan janin, berfungsi sebagai sumber makanan
bagi janin yang ada dalam kandungan seorang ibu.
·
seorang wanita yang hamil, tidak akan
mendapatkan haid lagi, Begitu juga dengan wanita yang menyusui, biasanya tidak
akan mendapatkannya terutama diawal masa penyusuan.
Adapun hikmah yang bisa kita petik didalamnya
adalah :
Maha Mulia Allah, Dialah
sebaik-baiknya pencipta, yang telah menciptakan gumpalan darah di rahim seorang
ibu sebagai sumber makanan instant bagi janin didalamnya, yang tentu saja dia
belum bisa mencerna makanan apalagi mendapatkan makanan dari luar kandungan.
Maha Bijaksana Allah Subhanahu wa taala yang telah mengeluarkan darah tersebut
dari rahim seorang wanita yang tidak hamil melalui siklus haid karena memang
tidak membutuhkannya. Dengan begitu, kondisi rahim seorang wanita akan selalu
siap bila ada janin didalamnya.
Usia dan Masa Haid
·
Haid pada umumnya dialami oleh seorang wanita
pada usia antara 12 sampai dengan 50 tahun, walaupun hal ini bukanlah batasan
yang pasti. Para ulama, rahimahullah, berbeda
pendapat tentang hal ini. Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat
dalam masalah tersebut, menyatakan: “Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab
yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapapun adanya, dalam kondisi
bagaimanapun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai
darah haid. Wallahu alam.” Pendapat ini didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Jadi usia haid tergantung dengan keberadaan darah haid itu sendiri,
tidak dibatasi usia tertentu. Dan ini menjadi sandaran hukum atasnya karena
memang tidak ada dalil yang memastikan pembatasan usia wanita yang mengalami
haid.
·
Adapun masa terjadinya haid, para ulama juga
berbeda pendapat. Ibnu Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid
tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”. Pendapat ini
didukung juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dalilnya – dalilnya sebagai
berikut :
ü
Al-quran
“Mereka bertanya kepadamu
tentang haid. Katakanlah:”Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu,
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu
mendekati mereka sebelum mereka suci” (Al-Baqarah:222)
Yang dimaksud “jangan
mendekati” disini adalah dilarang jima/senggama ketika wanita tersebut
sedang mendapatkan haid.
Dalam ayat diatas diterangkan
oleh Allah bahwa yang menjadi batas akhir larangan adalah “kesucian”, bukan
berlalunya waktu sehari, dua hari, atau pun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa
batasan masa haid tergantung pada ada tidaknya darah tersebut, karena
setelah darah tersebut berhenti mengalir maka wanita dikatakan telah masuk masa
suci.
ü
Hadits :
Dalam Shahih Muslim disebutkan
bahwasannya Rasulullah Shalalahu alaihi wassalam bersabda kepada Aisyah yang
mendapatkan haid ketika ihram untuk umrah:
“Lakukanlah apa yang dilakukan
jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di kabah sebelum kamu suci”.
Dan berkata Aisyah:”Setelah
masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Hadist ini juga menyatakan
bahwa yang menjadi batas akhir larangan (karena haid) adalah “kesucian” itu
sendiri.
ü
Adapun dalil secara logika adalah, jika Allah
menerangkan bahwa haid itu kotoran, maka pada waktu kotoran itu ada, maka haid
itu pun ada. Tidak tergantung pada hukum kepastian berapa lama masanya. Jika
terjadi silang pendapat diantara ulama yang memberikan batasan berapa masa
haid, hal ini justru menunjukkan bahwa tidak ada dalil yang menjadi patokan
adanya pembatasan masa tersebut. Namun, semua itu adalah ijtihad yang bisa
benar dan juga bisa salah. Sehingga tidak ada yang menjadi lebih baik daripada
yang lainnya diantara pendapat-pendapat tersebut. Dan kembali kepada hukum
awal, jika ada perselisihan dalam penentuan hukum syari maka penyelesaiannya
adalah kembali kepada kitabullah dan sunnah yang memang tidak menjelaskan
adanya dalil pembatasan masa haid. Jika memang Allah menentukan masa yang pasti
untuk haid, maka Allah dan Rasul-Nya pasti akan menjelaskan secara gamblang,
hal ini penting sekali, sebab masa haid berkaitan dengan hukum-hukum ibadah
yang lain seperti shalat, puasa, haji, nikah, talak, warisan. Ini lah pendapat
yang paling rajih di kalangan ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Pada prinsipnya, setiap darah
yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan
bahwa darah itu Istihadhah.”
Mengenai darah istihadhah dan
juga nifas akan dibahas lebih lanjut. Sehingga alangkah perlunya bagi kaum
wanita untuk dapat membedakan antara darah haid, istihadhah dan juga nifas.
Masa Haid yang Tidak Teratur
Ada
beberapa wanita yang mengeluh masa haidnya biasanya enam sampai tujuh hari,
tetapi tiba-tiba berubah sampai lebih dari masa kelaziman tersebut. Ada juga yang mengeluh,
biasanya waktu haidnya diawal bulan, berubah menjadi diakhir bulan. Sebagian
lagi mengalami masa haid yang terputus-putus, sehari haid, kemudian sehari
berhenti, besoknya haid lagi dan seterusnya. Untuk lebih detail akan dibahas
dibawah ini tentang kondisi-kondisi tak lazim diatas.
a. Bertambah,
berkurang, maju dan mundurnya masa haid
Para
ulama berbeda pendapat dalam menghukumi ketidaklaziman ini. Namun, bertolak
dari pendapat yang paling rajih bahwa hukum haid dikaitkan dengan keberadaan
haid itu sendiri, maka pendapat yang benar adalah seorang wanita jika
mendapatkan darah (haid) maka dia berada dalam masa haid, dan jika tidak
mendapatkannya maka dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau
kurang dari kebiasaannya serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya.
Pendapat diatas merupakan
madzab Imam Syafii dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ibnu
Qudamah Al-Hanbali (pengarang kitab Al-Mughni) pun ikut menguatkan pendapat ini
dan membelanya dengan menyatakan:”Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar
pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzab, niscaya dijelaskan oleh Nabi
Shalalllahu alaihi wassalam kepada umatnya dan tidak ditunda-tunda lagi
penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat
dibutuhkan. Istri-istri beliau dan kaum wanita lainnya pun mebutuhkan
penjelasan tersebut, maka beliau tidak akan mengabaikannya. Namun, ternyata
tidak ada riwayat yang menyatakan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam pernah
menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan
wanita yang istihadhah saja”.
b. Darah
haid yang keluar terputus-putus, misalnya, hari ini keluar, besok tidak keluar,
atau yang sejenisnya. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi:
Kondisi pertama, jika hal
tersebut selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu (bukan masa haid),
maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadah.
Kondisi kedua, jika hal tersebut tidak selalu
terjadi atau kadangkala saja datang dan mempunyai saat suci yang tepat
(berdasarkan kebiasaannya setiap bulan), maka menurut pendapat yang paling
shahih, jika belum keluar lendir putih sebagai tanda masa haid berakhir, masa
tersebut (masa darah terputus) masih dihukumi masa haid. Karena jika masa
terputus tersebut dihukumi masa suci hal itu pastilah akan menyulitkan
penghitungan masa iddah berdasarkan quru (haid dan suci), dan juga akan
memberatkan karena harus keramas beberapa kali. Padahal tiadaklah syariat itu
menyulitkan.
c. Terjadi
pengeringan darah, yakni, seorang wanita tidak mendapatkan selain lembab atau
basah saja di kemaluannya. Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau
bersambung dengan haid sebelum suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika
terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid.
Sifat Darah Haid Dan Nifas
ü Darah
haid pada umumnya berwarna merah kehitaman.
ü Darah nifas itu demikian pula sifatnya dan tetapi ia keluar
ketika wanita itu usai melahirkan.
ü Darah
haid berbau tidak sedap dan khas .
ü kadang-kadang haid itu dinamakan pula dengan nifas
ü Darah
haid keluarnya tidak mengucur seperti keluarnya urine.
ü terjadi
pada kelaziman masa haid. Seorang wanita yang mendapati darahnya berwarna
kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman,
jika hal itu terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum
suci, maka itu adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid.Tetapi jika
terjadi sesudah masa suci, maka hal itu bukan lah darah haid. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Ummu Athiyah Radhiyallahu anha:
“Kami tidak menganggap apa-apa
darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah suci”. (HR Abu Dawud)
Demikian juga diriwayatkan oleh
Al-Bukhari tentang hadist yang menceritakan bahwa kaum wanita pernah
mengirimkan kepada Aisyah sehelai kain berisi kapas yang terdapat padanya darah
berwarna kuning. Maka Aisyah berkata:
“Janganlah tergesa-gesa sebelum
kamu melihat lendir putih”, yaitu cairan putih yang keluar saat habis masa
haid.
Hukum-Hukum Seputar Haid
ü Shalat,
diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat dan
tidak perlu meng-qadha-nya setelah suci, kecuali jika ia mendapatkan sebagian
dari waktunya sebanyak satu rakaat sempurna, baik pada awal maupun akhir waktu
shalat tersebut. Contoh pada awal waktu, seorang wanita mendapatkan haid sesaat
sebelum matahari terbenam, dan waktu yang sesaat tadi cukup untuk melakukan
satu rakaat sempurna, maka wajib baginya untuk meng-qadha shalat maghrib yang
tertinggal tersebut setelah ia suci. Contoh di akhir waktu seorang wanita suci
dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkaan satu rakaat
dari waktu tersebut, maka wajib baginya untuk segera bersuci dan meng-qadha
shalat shubuh yang tertinggal. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh
muttafaqun alaih bahwasannya Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa mendapatkan satu
rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu”.
ü
Puasa, diharamkan bagi wanita haid berpuasa dan
berhak meng-qadhanya di hari lain jika yang ditinggalkannya merupakan puasa
wajib. Berdasarkan hadist dari Aisyah Radhiyallahu anha:
“Ketika kami mengalami haid,
diperintahkan kepada kami meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha
shalat” (Muttafaqun alaih)
Seorang wanita yang
mendapatkan haid ketika dia sedang berpuasa, maka wajib membatalkannya walaupun
hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib. Juga jika pada saat terbitnya fajar
dia masih haid maka tidak sah berpuasa, sekalipun sesaat setelah fajar dia
sudah suci. Dan sebaliknya jika seorang wanita mendapati dirinya suci sesaat
sebelum fajar, maka dia wajib puasa (puasa wajib) walaupun baru mandi suci
setelah fajar.
ü
Membaca Al-Quran, walaupun tidak ada dalil qathi
yang melarang wanita haid untuk membaca Al-quran, tetapi banyak ulama yang
mengharamkannya. Syaikh utsaimin mengomentari perbedaan pendapat dikalangan
ulama tentang hal ini dengan mengatakan bahwa lebih utama bagi wanita haid
tidak membaca Al-Quran secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya seorang
guru yang sedang mengajar murid-muridnya, atau siswa yang sedang belajar
dikelas. Adapun aktivitas dzikr yang lain diperbolehkan bahkan dianjurkan.
ü
Thawaf, diharamkan bagi wanita haid melakukan
thawaf di kabah, baik yang wajib maupun yang sunat.
ü
Thawaf wada, yaitu terakhir yang dilakukan oleh
jamaah haji sebelum meninggalkan Baitullah.Diperbolehkan seorang wanita yang
haid meninggalkan thawaf ini, sebagaimana sabda Rasulullah:”Diperintahkan
kepada jamaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah
(melakukan thawaf wada), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita
haid.” (Muttafaqun alaih
ü
Berdiam dalam masjid, diharamkan wanita berdiam
diri didalam masjid bahkan di tempat shalat ied juga. Berdasarkan hadist Ummu
Athiyah r.a.:”Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haidTetapi wanita haid
menjauhi tempat shalat”. (Muttafaqun alaih)
ü
Jima(senggama), diharamkan bagi seorang suami menggauli
istrinya sampai benar-benar dia dalam keadaan suci. Diharamkan pula bagi sang
istri memberi kesempatan kepada suami untuk melakukan hal tersebut. Dalilnya
dapat kita lihat kembali dalam (Qs. Al-Baqarah ayat 222) diatas. Rasulullah
bersabda dalam hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, “Lakukan apa saja, kecuali
nikah”, nikah disini adalah jima, Adapun bercumbu diperbolehkan asal tidak
sampai jima.
ü
Suami dilarang
menjatuhkan cerai kepada istrinya bila si istri dalam keadaan sedang berhaid
dan atau sedang bernifas. Karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa
sallam memerintahkan kepada Abdullah bin Umar bin Al-Khatthab untuk merujuk
kembali istrinya yang telah diceraikannya dalam keadaan haid. Sebagaimana hal
ini telah diriwayatkan oleh Nafi’maula Ibni Umar sebagai berikut: “Dari Abdillah bin Umar radliyallahu `anhuma, beliau
menceritakan bahwa beliau pernah di zaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa
alihi wa sallam menceraikan istrinya dan sang istri dalam keadaan haid. Maka
Umar bin Al-Khattab melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu`alaihi wa
alihi wa sallam. Maka beliau pun bersabda: .” (HR. Bukhari dalam Shahihnya,
Kitabut Thalaq {Fathul Bari jilid 9 hal.345,haditske5251}
Yakni sejak dijatuhkannya thalaq / cerai setelah suci yang kedua
itu, maka mulailah dihitung masa
`iddah bagi wanita yang telah dicerai oleh suaminya. Yaitu masa di mana wanita
yang dicerai itu dilarang menikah atau membicarakan rencana pernikahan dengan
pria lain sampai tiga kali haid dan atau tiga kali masa suci darinya.
Selain hal-hal diatas, hukum
haid juga berkaitan dengan hukum-hukum warisan dan talaq yang mungkin bisa
dibahas dilain kesempatan.
Mandi Besar di Akhir Masa Haid
Wanita haid wajib mandi setelah suci dengan
membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi SAW kepada Fatimah binti
Abu Hubaisy:
“Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan
shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat.” (HR. Bukhari)
Tata cara mandi sebagaimana disebutkan oleh
Rasulullah tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan kedua belah tangan
2. mengambil air dan daun bidara dan berwudhu
sempurna dengannya (daun bidara bisa diganti dengan sabun)
3. mengguyur air di atas kepala dengan
menggosokkannya hingga merata
4. Mengguyur air pada anggota badan hingga bersih
5. Membersihkan tempat haid dengan kain yang
telah diberi pengharum (mengikuti bekas aliran darah). Point terakhir ini lah
yang membedakan tata cara mandi besar wanita setelah haid dengan mandi besar
karena junub. (HR. Muslim)
Dan bagi wanita yang berambut panjang atau lebat
bisa tidak melepas gelungan rambutnya, asalkan gelungan tersebut tidak terlalu
kuat sehingga air masih bisa sampai ke dasar rambut sebagaimana yang terjadi
dikalangan shahabiyah zaman dahulu (shahih muslim). Musafir yang tidak
menemukan air dalam perjalanannya, atau orang sakit yang bila terkena air akan
bertambah parah, bisa dengan tayammum. Wallahu alam bi shawwab.:
Maroji
Ø Darah,
Kebiasaan Wanita. Syaikh Utsaimin
Ø Bulughul
Maram, Ibnu Hajar Al-atsqalani
Ø Jamiah
Ahkamun-nisa, Syaikh Mustofa Al-Adawy. Resume kajian. 2000
Ø 3/23/2007 02:35:00 PM asalah Aktual Muslimah, Syaikh Bin Baz dan
Syaikh Utsaimin
0 Response to "Darah Wanita 1"
Posting Komentar